Meraih doktor di luar negeri bukanlah perkara mudah. Selain persaingan yang begitu ketat, beasiswa yang pas-pasan, juga target waktu kelulusan yang sudah ditetapkan oleh sponsor sangat ketat. Maka mahasiswa harus pintar-pintar mengatur semua kendala tersebut.
Kenyataan ini dialami juga oleh Denny Indrayana, S.H., LL.M., Ph.D., dosen Fakultas Hukum UGM. Mendengar namanya, tentu kita sudah terbiasa. Tetapi, mengenal lebih dekat siapa sesungguhnya dia, barangkali belum banyak yang punya kesempatan. Maka simaklah uraian berikut:
“Setelah lulus doktor, tentu perasaan saya senang, karena lulus itu memerlukan perjuangan juga. Perjalanan intelektual yang tidak sederhana. Tiga tahun saya di sana. Saya harus mengejar deadline, karena orang biasanya harus selesai dalam waktu 4-5 tahun. Padahal beasiswa saya hanya dikasih tiga tahun. Batas waktu itu cukup menekan. Tapi, di sisi lain memotivasi untuk melakukan yang terbaik. Tentunya setelah selesai ada perasaan lega dan senang karena salah satu tugas telah selesai. Tapi ada perasaan, masih banyak tugas lain yang dilakukan setelah itu”, ujar laki-laki kelahiran 11 Desember 1972 di Pulau Laut ini.
Bung Denny adalah seorang doktor termuda di UGM. Dia sengaja mengambil gelar doktor di luar negeri karena, antara lain sistem pendidikan doktor di luar negeri lebih baik. “Ada beberapa alasan mengapa saya tidak mengambil doktor di UGM, pertama, saya menilai sistem pendidikan di luar negeri masih lebih baik. Dari sisi kualitas, sisi ketersediaan literatur yang berkait dengan teori. Jika berkait dengan literatur penelitian saya, mungkin lebih banyak datanya di sini. Tapi teori tentang constitusion making (pembuatan konstitusi) lebih banyak sumbernya dari luar negeri, salah satunya di Universitas Melbourne, salah satu universitas terbaik dalam bidang hukum di Australia.”
“Kedua, agar saya juga bisa lebih berkonsentrasi. Bila saya menyelesaikan S3 di sini, saya merasa lebih sulit. Karena saya harus membagi waktu dengan banyak hal terutama pekerjaan. Saya harus ngamen ke sana sini karena itu sebagai realitas dosen. Dengan adanya saya di sana saya pikir saya lebih konsentrasi untuk fokus menyelesaikan studi,” tambah peraih Doktor of Philosophy (Ph.D) dari Faculty of Law University of Melbourne Australia 2005.
Selama mengikuti Program Ph.D., Bung Denny sempat pulang tiga kali ke Indonesia untuk penelitian dan seminar.“Tiga tahun saya di sana, sempat pulang tiga kali ke Indonesia karena penelitian lapangan dan undangan seminar di UGM. Tapi 95% saya ada di Melbourne University. Saya sudah kembali setahun yang lalu, dari 2002-2005. Selama menjalani pendidikan di sana saya dibantu dari beasiswa ADS (Australian Development Scholarship)”, ujar peraih master dari University of Minnesota, USA tahun 1997 ini.
***
Bung Denny bukan orang Jawa dan bukan pula dibesarkan di Jawa. Tetapi, dia sangat senang bekerja di UGM. Lalu, di mana dia dibesarkan? “Masa kecil saya nomaden. Saya dilahirkan di pulau kecil, paling selatan pulau Kalimantan, namanya Pulau Laut. Sampai sekarang ini pulau tersebut sering hidup mati penerangan listriknya. Saya sempat duduk di bangku SD di Manokwari Irian Jaya hingga kelas tiga. Akhirnya balik lagi ke Kalsel hingga lulus SMA. Karena saya ikut orang tua yang bekerja di salah satu milik BUMN pemerintah. PT. Perhutani II. Setelah pensiun, bapak saya menggeluti wiraswasta,” ungkap Bung Denny
Bung Denny adalah juga seorang penulis produktif di media pers. Apakah dia memang dapat pelatihan khusus menulis di media pers selama kuliah di Melbourne? “Saya memetik pengalaman selama di Melbourne, terutama intellectual journey. Perjalanan intelektual itu melelahkan, naik turun, secara psikologi, mental dan fisik. Bayangkan, setiap hari saya mesti berangkat dari jam 08 pagi dan pulang jam 12 malam. Setiap hari, termasuk Sabtu dan Minggu. Kegiatan itu sudah menjadi rutinitas. Fulltime saya dikasih waktu untuk menulis disertasi. Ada lah saya jalan-jalan ke pantai dengan keluarga. Itu juga kalau sudah jenuh. Karena di sana saya bawa keluarga. Hampir semua waktu saya tersita untuk disertasi. Kadang saya menulis ke berbagai media massa saat saya merasa jenuh,” ujar lulusan Sarjana Hukum dari fakultas Hukum UGM tahun 1995.
Kendati menulis artikel di media pers bagi Bung Denny hanya untuk menghilangkan jenuh, ternyata artikelnya banyak digemari khalayak. Lalu bagaimana dia menjalani masa-masa menulis disertasinya? “Belajar di sana saya memerlukan banyak konsentrasi. Saya punya ruangan khusus di tempat tinggal saya. Ruangan kamar saya sekat untuk tempat belajar. Di bawah meja belajar saya sediakan kasur atau matras. Kadang kalau saya capek atau jenuh, saya tertidur di bawah meja itu. Barangkali di Australia mungkin hanya saya punya kebiasaan seperti itu. Saya punya target untuk menyelesaikan disertasi ini dalam tepat waktu. Tiga minggu terakhir saya tidur di situ karena istri saya sudah pulang ke tanah air,” ungkap Direktur LSM Indonesian Court Monitoring (ICM) ini.
Masalah biaya hidup bagaimana? Apakah Bung Denny sudah merasa cukup dengan biaya hidup yang diberikan ADS? “Selain kuliah saya juga menjadi loper koran dan buruh di pasar Australia untuk menambah masukan,” tutur pria yang pernah duduk di bangku kelas tiga salah satu SD di Manokwari Papua ini.
***
Setelah menyelesaikan pendidikan doktor di Australia, Bung Denny dapat mengkomparasikan pendidikan di luar negeri dan di UGM sendiri. “Kita masih perlu memperbaiki metode pendidikan, memperbanyak ruang kuliah, rasio dosen dan mahasiswa yang lebih ideal, perpustakaan yang lebih lengkap, metode belajar yang lebih aktif, mahasiswa yang lebih aktif. Banyak hal sebenarnya yang bisa dipetik. Diakui, setidaknya di fakultas hukum sendiri belum sampai ke arah sana mungkin sudah mengarah ke sana, tentunya memerlukan upaya kerja keras,” kata Bung Denny yang pernah menjadi asisten pengacara Jeremias Lemek Law Firm Yogyakarta 1994-1995.
Selain menjadi dosen, Bung Denny aktif di LSM Indonesian Court Monitoring, sebagai lembaga pemantau peradilan yang berdiri April 2000. “LSM ini berangkat dari keresahan atas marak kotornya dunia hukum atau dunia peradilan karena praktek-praktek menyimpang atau sering kita sebut dengan mafia peradilan (judicial corruption) dimana hukum diperjual-belikan, diperdagangkan, dinistakan. Kita pikir ada lembaga yang serius yang menyuarakan semangat anti mafia peradilan. Kita di situ adalah teman-teman Fakultas Hukum UGM, aktivis seangkatan dan mahasiswa yang punya keresah-an dan kepedulian yang sama,” kata Ketua Pengkajian Anti Korupsi Fakultas Hukum UGM.
Selama menjadi mahasiswa S-1, Denny muda malah jarang kuliah, mungkin dibilang hanya 25% saya duduk manis di bangku kuliah. Kuliah-kuliahnya lebih banyak di ruang BEM, kegiatan organisasi, diskusi dengan teman-teman di bawah pohon atau di depan musholah. Baginya, kegiatan itu lebih mengasyikan dan merangsangnya untuk lebih semangat belajar. Meskipun demikian, dia bisa lulus dalam 4 tahun dengan IPK 3,23. (Wawancara dan penulisan: Gusti Grehenson).
0 komentar:
¿Te animas a decir algo?